Gambaran Empathy-Induced
Altruism dalam Hubungan Interpersonal
Latar
Belakang Masalah
Menolong seharusnya dilakukan tanpa pamrih
seperti yang dilakukan para relawan di Mentawai. Mereka rela mengorbankan waktu
dan tenaga untuk menolong para korban gempa dan tsunami tanpa mengharapkan
imbalan (“Relawan, bekerja tanpa pamrih,” 2010). Akan tetapi, dewasa ini,
banyak orang tidak mau menolong jika tidak menguntungkan bagi dirinya, misalnya
pada kasus perkosaan di India. Seorang mahasiswi yang bersimbah darah dibiarkan
terbaring di jalan selama 45 menit tanpa pertolongan (“Saksi perkosaan di
India,” 2013). Makna menolong yang tulus dan tanpa pamrih (altruisme) telah
digantikan oleh menolong yang dilandasi oleh egoisme. Oleh karena itu,
penulisan topik ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perilaku
altruisme dan diharapkan dapat mendorong pembaca untuk menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengertian Perilaku Altruisme
Menurut Myers (2010, h. 443) Altruisme
adalah, “A
motive to increase another’s welfare without conscious regard for one’s
self-interests.” Pada dasarnya, Myers (2010) menyatakan bahwa altruisme
merupakan kebalikan dari egoisme. Seseorang yang egois mengutamakan kepentingan
dirinya dan tidak menghiraukan kepentingan orang lain. Ia pun tidak ragu untuk
mengorbankan kepentingan orang lain demi mendapatkan keuntungan pribadi (Surbakti,
2009). Berbeda dengan hal itu, kaum altruis menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan atau mencari keuntungan dalam bentuk apapun. Mereka
percaya bahwa tujuan dari altruisme adalah untuk mencintai orang lain karena
dirinya lebih daripada karena hal yang dapat dilakukan untuk diri sendiri
(Gula, 2009).
Indikator Altruisme
Menurut Gula (2009), terdapat beberapa
indikator altruisme, yaitu: (a) dapat didekati dan
bersedia membantu orang lain; (b) melayani tanpa diskriminasi; (c) mendahulukan
kepentingan orang lain; (d) memilih pilihan yang masuk akal bagi kepentingan
orang lain daripada untuk diri sendiri; (e) berbagi kekayaan, kemampuan, dan
waktu; dan (f) berperan aktif dalam usaha melindungi keadilan.
Faktor-Faktor
yang Menentukan Altruisme
Widyarini (2009) menyatakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang menentukan altruisme, yaitu situasi, genetik, dan budaya.
Situasi. Pengaruh situasi meliputi jenis situasi (darurat dan
tidak darurat), keadaan orang yang membutuhkan (kejelasan kebutuhan), hubungan
penolong dan orang yang ditolong, dan keberadaan orang lain. Mengenai faktor
keberadaan orang lain, sebuah penelitian telah dilakukan (dikutip dalam
Widyarini, 2009). Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa dalam situasi darurat, misal terjadi korban dalam kecelakaan
lalu lintas, keberadaan orang lain di sekitar tempat
kejadian mengurangi kemungkinan untuk menolong.
Genetik. Gen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
altruisme. Penelitian (dikutip dalam Widyarini, 2009) dilakukan pada
orang-orang kembar dengan membandingkan antara kembar identik (berasal dari
satu sel telur) dan bukan kembar identik. Mereka yang kembar identik memiliki
tingkat altruisme yang hampir setara. Tingkatnya tidak sama persis karena
terdapat 50 persen faktor penentu lainnya, yaitu pembelajaran tiap-tiap
individu semasa hidupnya.
Budaya. Faktor ini memiliki pengaruh yang ditunjukkan dari
perbedaan kecenderungan altruisme masyarakat yang bersifat kolektivis dan
individualis. Masyarakat kolektivis adalah masyarakat yang berpedoman pada nilai-nilai
kebersamaan, sedangkan masyarakat individualis adalah masyarakat yang
berpedoman pada nilai-nilai otonomi pribadi dan kebebasan kreatif individu
(Sutrisno & Putranto, 2005). Masyarakat kolektivis mendukung altruisme
karena mereka berpandangan bahwa kebaikan kelompok lebih penting daripada
keinginan individu. Sebaliknya, masyarakat individualis lebih mementingkan
tercapainya tujuan-tujuan pribadi daripada kepentingan kelompok (Widyarini,
2009).
Pengertian Empati
McLaren (2013, h. 3) mendefinisikan empati sebagai,
“a social and emotional skill that
helps us feel and understand the emotions, circumstances, intentions, thoughts,
and needs of others, such that we can offer sensitive, perceptive, and
appropriate communication and support.”
Empati berarti mampu berpikir dari sudut pandang orang lain, beradaptasi
dengan keadaan orang lain, merelakan diri untuk menjelajah dunia orang lain,
dan menghargai orang lain. Seseorang berempati agar tercipta keselarasan dan
keharmonisan hubungan dengan orang lain (Sumartono, 2004). “Jika simpati
terbatas pada usaha merasakan apa yang dirasakan orang lain, sedangkan empati,
rasa tersebut juga diikuti oleh tindakan nyata” (Mulyodiharjo, 2010, h. 73).
Hubungan Interpersonal
Heider (1982/2013, h. 1) mengatakan bahwa,
“interpersonal relations denotes between
a few, usually between two, people.” Homans (dikutip dalam Morrison &
Burnard, 1997/2009, h. 15) juga menyatakan, “kehidupan interpersonal adalah
serangkaian transaksi yang dilakukan setiap orang untuk dan dengan orang lain
sebagai antisipasi menerima sesuatu.” Terdapat tiga komponen utama dalam upaya
membangun hubungan interpersonal, yaitu (a) kemampuan berkomunikasi secara
efektif, (b) kemampuan dalam membangun relasi atau hubungan dengan orang lain,
dan (c) kemampuan memimpin dan menggerakkan orang lain (Prijosaksono &
Mardianto, 2005).
Empathy-Induced Altruism dalam Hubungan
Interpersonal
Batson et al. (dikutip dalam Myers, 2010)
menyatakan bahwa ketika seseorang merasakan empati, ia akan lebih memikirkan
kepentingan orang lain daripada dirinya. Empati yang tulus memotivasi seseorang
untuk menolong orang lain demi kebaikan orang tersebut.
Pengaruh empathy-induced altruism dalam hubungan
interpersonal. Penelitian yang dilakukan Batson (dikutip dalam Myers, 2010)
menunjukkan bahwa empathy-induced
altruism: (a) produces sensitive
helping, empati tidak hanya merasakan, tetapi juga meringankan beban orang
lain; (b) inhibits aggression, empati mengurangi munculnya
perilaku agresi; (c) increases corporation, empati membangun kerja
sama; dan (d) improves attitudes toward
stigmatized groups, empati membantu seseorang untuk melihat dari sudut
pandang orang lain.
Empathy-induced
altruism juga memiliki implikasi praktis pada kehidupan sehari-hari
(Batson, 2008). Menurut Sibicky, Schroeder dan Dovidio (dikutip dalam Batson,
2008, h. 17), “Empathic concern has been
found to direct attention to the long-term welfare of those in need, producing
more sensitive care.” Perilaku ini mengurangi diskriminasi terhadap
perbedaan ras, penderita Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS), pecandu narkoba, dan lain-lain. Penerapan
perilaku ini di sekolah juga meningkatkan hubungan mutualisme pada siswa-siswinya
(Gordon dikutip dalam Batson, 2008). Stephan
and Finlay (dikutip dalam Batson, 2008, h.17) menyatakan, “The induction of empathic
concern is often an explicit component of techniques used in conflict
resolution workshops.” Para peserta workshop
termotivasi untuk mengekspresikan perasaan, harapan dan ketakutan, dan melihat
segala sesuatu, tidak hanya dari sudut pandang pribadi, tetapi juga dari sudut
pandang orang lain (Kelman dikutip dalam Batson, 2008).
Simpulan
Altruisme adalah perilaku menolong orang
lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi
tanpa mengharapkan imbalan. Beberapa hal yang menjadi indikator perilaku ini
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Altruisme ditentukan
oleh faktor-faktor, seperti situasi, genetik, dan budaya. Perilaku ini lebih
bermakna jika diterapkan dengan empati karena akan memotivasi seseorang untuk
membantu orang lain demi kebaikan orang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Batson, D. C. (2008, March).
Empathy-induced altruistic motivation. Prosocial
motives, emotions, and behavior. Symposium conducted at the Inaugural
Herzliya Symposium, Herzliya, Israel. Retrieved from http://portal.idc.ac.il/en/symposium
/herzliyasymposium/documents/dcbatson.pdf
Gula, R. M. (2009). Etika pastoral. Yogyakarta: Kanisius. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=aiZ4FXlEJZ0C&pg=PA84&dq=altruisme+adalah&hl=id&sa=X&ei=sGRdVLy7PI-MuASXsIDgAw&redir_esc=y#v=onepage&
q= altruisme%20adalah&f=false
Heider, F. (2013). The psychology of interpersonal relations. East Sussex, England:
Psychology Press. Retrieved from http://books.google.co.id/books?id=tVFmY0
xvn-wC&printsec=frontcover& dq=inter personal+relationships&hl=id&s
(Original work published 1982)
McLaren, K. (2013). The art of emphaty: A complete guide to life's most essential skill.
Louisville, CO: Sounds True. Retrieved from http://books.google.co.id/books ?id=iRrPBAAAQBAJ&pg=PT3&dq=what+is+empathy&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=2#v=onepage&q=what%20is%20empathy&f=false
Morrison, P., & Burnard, P. (2009). Caring & communicating: Hubungan
interpersonal dalam keperawatan (Widyawati & E. Meiliya, Penerj.).
Dalam D. Yulianti (Ed.). Jakarta: EGC. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id
=X_YBXDCAWUIC&pg=PA1&dq=hubungan+interpersonal&hl=id&sa=X&ei=A5NdVLKTNsPiuQSq_4LYDg&ved=0CBwQ6AEwAA#v=onepage&q=hubungan%20interpersonal&f=false
(Karya asli diterbitkan tahun 1997)
Mulyodiharjo, S. (2010). The power of communication: Komunikasi,
kekuatan dasyat untuk menjadi spektakuler. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=PCYynby5N6MC&pg=PA73&dq=empati&hl=id&sa=X&ei=CYldVN68FsbguQTQhYGADA&ved=0CD4Q6AEwBw#v=onepage&q=empati&f=false
Myers, D. G. (2010). Social psychology (10th ed.). New York,
NY: McGraw-Hill.
Prijosaksono, A., & Mardianto, M.
(2005). The power of transformation.
Jakarta: Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=j
XaLp9BarScC&pg=PA145&dq=hubungan+interpersonal&hl=id&sa=X&ei=e5FdVLmdE4O0uQSDh4I4&ved=0CCEQ6AEwAQ#v=onepage&q=hubungan%20interpersonal&f=false
Relawan, bekerja tanpa pamrih di lokasi
bencana. (2010, 4 November). Diunduh dari http://news.liputan6.com/read/304784/relawan-bekarja-tanpa-pamrih-di-lokasi-bencana
Saksi perkosaan India: Tak ada yang
menolong selama 45 menit. (2013, 5 Januari). Diunduh dari http://sp.beritasatu.com/home/saksi-perkosaan-india-tak-ada-yang-menolong-selama-45-menit/28774
Sumartono. (2004). Komunikasi kasih sayang. Jakarta: Elex Media Komputindo. Diunduh
dari http://books.google.co.id/books?id=qGL9kopln_UC&printsec =frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false
Surbakti, E. B. (2009). Kenalilah anak remaja anda. Jakarta:
Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=8V3sX viw3HkC&pg=PA249&dq=egoisme&hl=id&sa=X&ei=Lm9dVP24B8XluQSUwoLgAw&redir_esc=y#v=onepage&q=egoisme&f=false
Sutrisno, M., & Putranto, H. (Ed).
(2005). Teori-teori kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=aZHKmu8wCVcC
&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false
Widyarini, M. M. N. (2009). Relasi orangtua & anak. Jakarta:
Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=RH_Jkq 4CLB8C&pg=PA15&dq=altruisme+adalah&hl=id&sa=X&ei=sGRdVLy7PI-MuASXsIDgAw&
redir_esc=y#v=onepage&q=altruisme%20adalah&f=false