Selasa, 11 November 2014

Gambaran Emphaty-Induced Altruism dalam Hubungan Interpersonal

­Gambaran Empathy-Induced Altruism dalam Hubungan Interpersonal

Latar Belakang Masalah
     Menolong seharusnya dilakukan tanpa pamrih seperti yang dilakukan para relawan di Mentawai. Mereka rela mengorbankan waktu dan tenaga untuk menolong para korban gempa dan tsunami tanpa mengharapkan imbalan (“Relawan, bekerja tanpa pamrih,” 2010). Akan tetapi, dewasa ini, banyak orang tidak mau menolong jika tidak menguntungkan bagi dirinya, misalnya pada kasus perkosaan di India. Seorang mahasiswi yang bersimbah darah dibiarkan terbaring di jalan selama 45 menit tanpa pertolongan (“Saksi perkosaan di India,” 2013). Makna menolong yang tulus dan tanpa pamrih (altruisme) telah digantikan oleh menolong yang dilandasi oleh egoisme. Oleh karena itu, penulisan topik ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perilaku altruisme dan diharapkan dapat mendorong pembaca untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian Perilaku Altruisme
     Menurut Myers (2010, h. 443) Altruisme adalah,A motive to increase another’s welfare without conscious regard for one’s self-interests.” Pada dasarnya, Myers (2010) menyatakan bahwa altruisme merupakan kebalikan dari egoisme. S­­­eseorang yang egois mengutamakan kepentingan dirinya dan tidak menghiraukan kepentingan orang lain. Ia pun tidak ragu untuk mengorbankan kepentingan orang lain demi mendapatkan keuntungan pribadi (Surbakti, 2009). Berbeda dengan hal itu, kaum altruis menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau mencari keuntungan dalam bentuk apapun. Mereka percaya bahwa tujuan dari altruisme adalah untuk mencintai orang lain karena dirinya lebih daripada karena hal yang dapat dilakukan untuk diri sendiri (Gula, 2009).
Indikator Altruisme
     Menurut Gula (2009), terdapat beberapa indikator altruisme, yaitu: (a) dapat didekati dan bersedia membantu orang lain; (b) melayani tanpa diskriminasi; (c) mendahulukan kepentingan orang lain; (d) memilih pilihan yang masuk akal bagi kepentingan orang lain daripada untuk diri sendiri; (e) berbagi kekayaan, kemampuan, dan waktu; dan (f) berperan aktif dalam usaha melindungi keadilan.
 Faktor-Faktor yang Menentukan Altruisme
     Widyarini (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menentukan altruisme, yaitu situasi, genetik, dan budaya.
     Situasi. Pengaruh situasi meliputi jenis situasi (darurat dan tidak darurat), keadaan orang yang membutuhkan (kejelasan kebutuhan), hubungan penolong dan orang yang ditolong, dan keberadaan orang lain. Mengenai faktor keberadaan orang lain, sebuah penelitian telah dilakukan (dikutip dalam Widyarini, 2009).  Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam situasi darurat, misal terjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas, keberadaan orang lain di sekitar tempat kejadian mengurangi kemungkinan untuk menolong.
     Genetik. Gen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap altruisme. Penelitian (dikutip dalam Widyarini, 2009) dilakukan pada orang-orang kembar dengan membandingkan antara kembar identik (berasal dari satu sel telur) dan bukan kembar identik. Mereka yang kembar identik memiliki tingkat altruisme yang hampir setara. Tingkatnya tidak sama persis karena terdapat 50 persen faktor penentu lainnya, yaitu pembelajaran tiap-tiap individu semasa hidupnya.
     Budaya. Faktor ini memiliki pengaruh yang ditunjukkan dari perbedaan kecenderungan altruisme masyarakat yang bersifat kolektivis dan individualis. Masyarakat kolektivis adalah masyarakat yang berpedoman pada nilai-nilai kebersamaan, sedangkan masyarakat individualis adalah masyarakat yang berpedoman pada nilai-nilai otonomi pribadi dan kebebasan kreatif individu (Sutrisno & Putranto, 2005). Masyarakat kolektivis mendukung altruisme karena mereka berpandangan bahwa kebaikan kelompok lebih penting daripada keinginan individu. Sebaliknya, masyarakat individualis lebih mementingkan tercapainya tujuan-tujuan pribadi daripada kepentingan kelompok (Widyarini, 2009).
Pengertian Empati
     McLaren (2013, h. 3) mendefinisikan empati sebagai,a social and emotional skill that helps us feel and understand the emotions, circumstances, intentions, thoughts, and needs of others, such that we can offer sensitive, perceptive, and appropriate communication and support.” Empati berarti mampu berpikir dari sudut pandang orang lain, beradaptasi dengan keadaan orang lain, merelakan diri untuk menjelajah dunia orang lain, dan menghargai orang lain. Seseorang berempati agar tercipta keselarasan dan keharmonisan hubungan dengan orang lain (Sumartono, 2004). “Jika simpati terbatas pada usaha merasakan apa yang dirasakan orang lain, sedangkan empati, rasa tersebut juga diikuti oleh tindakan nyata” (Mulyodiharjo, 2010, h. 73).
Hubungan Interpersonal
     Heider (1982/2013, h. 1) mengatakan bahwa, “interpersonal relations denotes between a few, usually between two, people.” Homans (dikutip dalam Morrison & Burnard, 1997/2009, h. 15) juga menyatakan, “kehidupan interpersonal adalah serangkaian transaksi yang dilakukan setiap orang untuk dan dengan orang lain sebagai antisipasi menerima sesuatu.” Terdapat tiga komponen utama dalam upaya membangun hubungan interpersonal, yaitu (a) kemampuan berkomunikasi secara efektif, (b) kemampuan dalam membangun relasi atau hubungan dengan orang lain, dan (c) kemampuan memimpin dan menggerakkan orang lain (Prijosaksono & Mardianto, 2005).
Empathy-Induced Altruism dalam Hubungan Interpersonal
     Batson et al. (dikutip dalam Myers, 2010) menyatakan bahwa ketika seseorang merasakan empati, ia akan lebih memikirkan kepentingan orang lain daripada dirinya. Empati yang tulus memotivasi seseorang untuk menolong orang lain demi kebaikan orang tersebut.
    Pengaruh empathy-induced altruism dalam hubungan interpersonal. Penelitian yang dilakukan Batson (dikutip dalam Myers, 2010) menunjukkan bahwa empathy-induced altruism: (a) produces sensitive helping, empati tidak hanya merasakan, tetapi juga meringankan beban orang lain; (b) inhibits aggression, empati mengurangi munculnya perilaku agresi; (c) increases corporation, empati membangun kerja sama; dan (d) improves attitudes toward stigmatized groups, empati membantu seseorang untuk melihat dari sudut pandang orang lain.
     Empathy-induced altruism juga memiliki implikasi praktis pada kehidupan sehari-hari (Batson, 2008). Menurut Sibicky, Schroeder dan Dovidio (dikutip dalam Batson, 2008, h. 17), “Empathic concern has been found to direct attention to the long-term welfare of those in need, producing more sensitive care.” Perilaku ini mengurangi diskriminasi terhadap perbedaan ras, penderita Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), pecandu narkoba, dan lain-lain. Penerapan perilaku ini di sekolah juga meningkatkan hubungan mutualisme pada siswa-siswinya (Gordon dikutip dalam Batson, 2008).  Stephan and Finlay (dikutip dalam Batson, 2008, h.17) menyatakan, “The induction of empathic  concern is often an explicit component of techniques used in conflict resolution workshops.” Para peserta workshop termotivasi untuk mengekspresikan perasaan, harapan dan ketakutan, dan melihat segala sesuatu, tidak hanya dari sudut pandang pribadi, tetapi juga dari sudut pandang orang lain (Kelman dikutip dalam Batson, 2008).
Simpulan
     Altruisme adalah perilaku menolong orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi tanpa mengharapkan imbalan. Beberapa hal yang menjadi indikator perilaku ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Altruisme ditentukan oleh faktor-faktor, seperti situasi, genetik, dan budaya. Perilaku ini lebih bermakna jika diterapkan dengan empati karena akan memotivasi seseorang untuk membantu orang lain demi kebaikan orang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Batson, D. C. (2008, March). Empathy-induced altruistic motivation. Prosocial motives, emotions, and behavior. Symposium conducted at the Inaugural Herzliya Symposium, Herzliya, Israel. Retrieved from http://portal.idc.ac.il/en/symposium /herzliyasymposium/documents/dcbatson.pdf

Gula, R. M. (2009). Etika pastoral. Yogyakarta: Kanisius. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=aiZ4FXlEJZ0C&pg=PA84&dq=altruisme+adalah&hl=id&sa=X&ei=sGRdVLy7PI-MuASXsIDgAw&redir_esc=y#v=onepage& q= altruisme%20adalah&f=false

Heider, F. (2013). The psychology of interpersonal relations. East Sussex, England: Psychology Press.  Retrieved from http://books.google.co.id/books?id=tVFmY0 xvn-wC&printsec=frontcover& dq=inter personal+relationships&hl=id&s (Original work published 1982)

McLaren, K. (2013). The art of emphaty: A complete guide to life's most essential skill. Louisville, CO: Sounds True. Retrieved from http://books.google.co.id/books ?id=iRrPBAAAQBAJ&pg=PT3&dq=what+is+empathy&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=2#v=onepage&q=what%20is%20empathy&f=false

Morrison, P., & Burnard, P. (2009). Caring & communicating: Hubungan interpersonal dalam keperawatan (Widyawati & E. Meiliya, Penerj.). Dalam D. Yulianti (Ed.). Jakarta: EGC. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id =X_YBXDCAWUIC&pg=PA1&dq=hubungan+interpersonal&hl=id&sa=X&ei=A5NdVLKTNsPiuQSq_4LYDg&ved=0CBwQ6AEwAA#v=onepage&q=hubungan%20interpersonal&f=false (Karya asli diterbitkan tahun 1997)

Mulyodiharjo, S. (2010). The power of communication: Komunikasi, kekuatan dasyat untuk menjadi spektakuler. Jakarta: Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=PCYynby5N6MC&pg=PA73&dq=empati&hl=id&sa=X&ei=CYldVN68FsbguQTQhYGADA&ved=0CD4Q6AEwBw#v=onepage&q=empati&f=false

Myers, D. G. (2010). Social psychology (10th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.

Prijosaksono, A., & Mardianto, M. (2005). The power of transformation. Jakarta: Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=j XaLp9BarScC&pg=PA145&dq=hubungan+interpersonal&hl=id&sa=X&ei=e5FdVLmdE4O0uQSDh4I4&ved=0CCEQ6AEwAQ#v=onepage&q=hubungan%20interpersonal&f=false

Relawan, bekerja tanpa pamrih di lokasi bencana. (2010, 4 November). Diunduh dari http://news.liputan6.com/read/304784/relawan-bekarja-tanpa-pamrih-di-lokasi-bencana

Saksi perkosaan India: Tak ada yang menolong selama 45 menit. (2013, 5 Januari). Diunduh dari http://sp.beritasatu.com/home/saksi-perkosaan-india-tak-ada-yang-menolong-selama-45-menit/28774

Sumartono. (2004). Komunikasi kasih sayang. Jakarta: Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=qGL9kopln_UC&printsec =frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false

Surbakti, E. B. (2009). Kenalilah anak remaja anda. Jakarta: Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=8V3sX viw3HkC&pg=PA249&dq=egoisme&hl=id&sa=X&ei=Lm9dVP24B8XluQSUwoLgAw&redir_esc=y#v=onepage&q=egoisme&f=false

Sutrisno, M., & Putranto, H. (Ed). (2005). Teori-teori kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=aZHKmu8wCVcC &printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false

Widyarini, M. M. N. (2009). Relasi orangtua & anak. Jakarta: Elex Media Komputindo. Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=RH_Jkq 4CLB8C&pg=PA15&dq=altruisme+adalah&hl=id&sa=X&ei=sGRdVLy7PI-MuASXsIDgAw& redir_esc=y#v=onepage&q=altruisme%20adalah&f=false




Tidak ada komentar:

Posting Komentar